Blogger Widgets

Senin, 15 Agustus 2016

Rangkuman materi pendidikan agama islam dan budi pekeri bab 9 prinsip dan praktik ekonomi islam



                        RANGKUMAN MATERI
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti

Description: Logo-taman-siswa-kebumen.png
Pembimbing       : Moh. Badrun
Kelompok 9        :
Nama Anggota                  :
1.       Agus                                      ( 10 )
2.       M. Fiki Pangestu
3.       Mei Risdiyanto
4.       Tri Aldi

Kelas                     : XI TKR 10




SMK TAMAN KARYA MADYA TEKNIK KEBUMEN TAHUN AJARAN 2016/2017
                              




KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia rahmat hidayah-Nya, kegiatan penyusunan makalah dapat terlaksana dengan baik.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu kegiatan proses belajar-mengajar di Institut Koperasi Indonesia, dalam upaya meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan yang bernuansa Islami. Makalah yang berjudul “Prinsip dan Praktek Ekonomi dalam Islam”  ini menyajikan tentang bagaimana ekonomi yang sesuai dengan syari’at Islam. Makalah  ini berasal dari berbagai sumber, kemudian sedemikian rupa kami singkat menjadi sebuah makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengajar yang telah memberikan kami bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian makalah ini. Akhirnya, semoga Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah  ini dan memberikan manfaat bagi kita semua yang membacanya.




                                   DAFTAR ISI      

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………….

BAB 9 PRINSIP DANPRAKTIK EKONOMI ISLAM

A.      Pengertian mu’amalah………………………………………………………………………………………………….
B.      Macam macam Mu’amalah………………………………………….………………………………………………
C.      Syirkah…………………………………………………………………………………………………………………………..
D.     Perbankan……………………………………………………………………………………………………………………..
E.      Asuransi Syari’ah…………………………………………………………………………………………………………..



A. Pengertian Mu’āmalah

Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar - menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa - menyewa, upah - mengupah, pinjam - meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya. Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam,
Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut.

1.Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2.Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3.Tidak boleh dengan cara-cara (aniaya).
4.Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5.Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6.Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram


B. Macam-Macam Mu’āmalah

1.     Jual-Beli

Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:





Artinya: ”... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya,
dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah /2:282.








a.      Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah
sebagai berikut.

1)     Penjual dan pembelinya haruslah:
a). ballig,
b). berakal sehat,
c). atas kehendak sendiri.

2)     Uang dan barangnya haruslah:                                                                                                                
a). halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan
     berhala, termasuk lemak bangkai tersebut;
b). bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama
     dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
c). Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang  yang  tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam
laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu
mengandung tipu daya.
d). Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e). Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli melainkan
     atas barang yang dimiliki.”(HR. Abu Daud dan Tirmidz

3)     Ijab Qobul

Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab,“Baiklah saya beli.”Dengan demikian, berarti jual-beli
itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

b. Khiyār

1). Pengertian Khiyār

Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau
membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena
jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan
sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya,
sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang
diyakininya. Rasulullah saw. bersabda,
“Penjual dan pembeli tetap dalam
khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar
dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan
memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan
sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)





2). Macam - Macam Khiyār

a). Khiyār Majelis
          adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda,
“Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b). Khiyār Syarat
 adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiya-kan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki,
“Engkau boleh khiyār pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah)

c). Khiyār Aibi (cacat)
 adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau  nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
.
Ribā

1). Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam - meminjam. Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim).                                                            Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti
emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a).  sama timbangan ukurannya; atau
b). dilakukan serah terima saat itu juga,
c).  secara tunai
.

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain


2). Macam - Macam Ribā

a). Ribā Fali
 adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22
karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b). Ribā Qori
 adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c). Ribā Yādi
 adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya,
namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d). Ribā Nasi’ah
 adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di
pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

2. Utang-piutang

a.     Pengertian Utang-piutang

Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang
dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan
tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang

Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1). yang berpiutang dan yang berutang
2). ada harta atau barang
Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang
menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”

3. Sewa-menyewa

a.     Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqhIslam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijārah dalamfirman AllahSwt.:


     b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa

1) . Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2). Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3). Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4). Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5). Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara
jelas oleh kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah
rumah. Si penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang
menyewakan, apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang.
Dengan demikian, si pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa
saja.
6). Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan
jelas.
7). Harga sewa dan cara pem-bayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1). Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2). Berapa lama masa kerja.
3). Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4). Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada

C. Syirkah

Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkahadalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan

a.     Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1). Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taarruf (pengelolaan harta).
2). Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi
mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3). Akad atau yang disebut juga dengan istilahigat
. Adapun syarat sah akad harus berupataarruf  yaitu adanya aktivitas pengelolaan.



b.     Macam-Macam Syirkah

Syirkahdibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaah.

1). Syirkah Inān
syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat
2). Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu).Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal

3). Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh
adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal)
4). Syirkah Mufāwaah
Syirkah mufāwaah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkahdi atas. Syirkah mufāwaah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkahyang sah berarti
boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaah
, atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh


5) . Muārabah

Muārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan semua modal (āhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (muarrib). Keuntungan usaha secara
muārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian,  ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan,
pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.Muārabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muārabah mulaqah dan muārabah muqayyadah
.
Muārabah mulaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Muārabah muqayyadah adalah kebalikan dari muārabah mulaqah
, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

6)  Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah

a). Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana
sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil
panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada
waktu akad. Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya
sistem kerja sama musāqah, setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat

b). Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ahadalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik
lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ahmemang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah
dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase
tertentu dari hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’
ulama
D. Perbankan

1.     Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut.
a. Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syariah
Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut.
1). Muārabah
, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan perjanjian
bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem muārabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
2). Musyārakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3). Wadi’ah
, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.
4). Qarul hasān
, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.

5). Murābahah
, yaitu suatu istilah dalam fiqhIslam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.

E. Asuransi Syari‘ah

1.    Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantieyang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang
berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas
dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan
tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min
.
Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan
dasar hukum asuransi menurut fiqhIslam adalah boleh (jaiz) dengan suatu
ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan
syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya
setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama. Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.


2.    Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional

Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Setidaknya, ada manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat
dalam asuransi syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip yang bersifat universal.
Untuk pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah







DAFTAR PUSTAKA




http://www.slideshare.net/wasunu/prinsip-ekonomi-islam