RANGKUMAN
MATERI
Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti
Pembimbing : Moh. Badrun
Kelompok 9 :
Nama Anggota :
1. Agus ( 10 )
2. M.
Fiki Pangestu
3. Mei
Risdiyanto
4. Tri
Aldi
Kelas :
XI TKR 10
SMK TAMAN KARYA MADYA TEKNIK KEBUMEN TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia
rahmat hidayah-Nya, kegiatan penyusunan makalah dapat terlaksana dengan baik.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu kegiatan proses
belajar-mengajar di Institut Koperasi Indonesia, dalam upaya meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan yang bernuansa Islami.
Makalah yang berjudul “Prinsip dan Praktek Ekonomi dalam Islam” ini menyajikan tentang bagaimana ekonomi yang
sesuai dengan syari’at Islam. Makalah
ini berasal dari berbagai sumber, kemudian sedemikian rupa kami singkat
menjadi sebuah makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengajar
yang telah memberikan kami bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian makalah
ini. Akhirnya, semoga Allah meridhoi kegiatan penyusunan makalah ini dan memberikan manfaat bagi kita semua
yang membacanya.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………………………………………………..
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………….
BAB 9 PRINSIP DANPRAKTIK EKONOMI
ISLAM
A. Pengertian mu’amalah………………………………………………………………………………………………….
B. Macam macam Mu’amalah………………………………………….………………………………………………
C. Syirkah…………………………………………………………………………………………………………………………..
D. Perbankan……………………………………………………………………………………………………………………..
E. Asuransi Syari’ah…………………………………………………………………………………………………………..
A.
Pengertian Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa
Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan,
perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar - menukar barang atau
sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli,
sewa - menyewa, upah - mengupah, pinjam - meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat,
dan usaha lainnya. Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam,
Islam melarang beberapa hal di
antaranya seperti berikut.
1.Tidak boleh mempergunakan
cara-cara yang batil.
2.Tidak boleh melakukan kegiatan
riba.
3.Tidak boleh dengan cara-cara
(aniaya).
4.Tidak boleh mempermainkan takaran,
timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5.Tidak boleh dengan cara-cara
spekulasi/berjudi.
6.Tidak boleh melakukan transaksi
jual-beli barang haram
B.
Macam-Macam Mu’āmalah
1.
Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama
ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.
Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:
Artinya: ”... dan Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275).
Apabila jual-beli itu menyangkut
suatu barang yang sangat besar nilainya,
dan agar tidak terjadi kekurangan di
belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah
penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah /2:282.
a.
Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat yang telah ditetapkan
dalam Islam tentang jual-beli adalah
sebagai berikut.
1)
Penjual dan pembelinya haruslah:
a). ballig,
b). berakal sehat,
c). atas kehendak sendiri.
2)
Uang dan barangnya haruslah:
a). halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu
juga babi dan
berhala, termasuk lemak bangkai tersebut;
b). bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat
sama
dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.
c). Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual
barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya,
menjual ikan dalam
laut atau barang yang sedang
dijadikan jaminan sebab semua itu
mengandung tipu daya.
d). Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e). Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli
melainkan
atas barang yang dimiliki.”(HR. Abu Daud dan Tirmidz
3)
Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya
jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab,“Baiklah saya
beli.”Dengan demikian, berarti jual-beli
itu berlangsung suka sama suka.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
jual-beli itu hanya sah jika suka
sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)
b.
Khiyār
1).
Pengertian Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan
antara meneruskan jual-beli atau
membatalkannya. Islam memperbolehkan
melakukan khiyār karena
jual-beli haruslah berdasarkan suka
sama suka, tanpa ada unsur paksaan
sedikit pun. Penjual berhak
mempertahankan harga barang dagangannya,
sebaliknya pembeli berhak menawar
atas dasar kualitas barang yang
diyakininya. Rasulullah saw.
bersabda,
“Penjual dan pembeli tetap dalam
khiyar selama keduanya belum
berpisah. Apabila keduanya berlaku benar
dan suka menerangkan keadaan
(barang)nya, maka jual-belinya akan
memberkahi keduanya. Apabila
keduanya menyembunyikan keadaan
sesungguhnya serta berlaku dusta,
maka dihapus keberkahan jual-belinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
2). Macam - Macam Khiyār
a). Khiyār Majelis
adalah
selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan
jual-beli. Rasulullah saw. bersabda,
“Dua orang yang berjual-beli, boleh
memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b). Khiyār Syarat
adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam
jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga
sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu
kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu
tiga hari. Apabila pembeli mengiya-kan, status barang tersebut sementara waktu
(dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak
menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan
tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw.
bersabda kepada seorang lelaki,
“Engkau boleh khiyār pada segala
barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu
Majah)
c). Khiyār
Aibi (cacat)
adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang
dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya
dilakukan sesegera mungkin.
.
Ribā
1). Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih
atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan,
perak, emas, dan pinjam - meminjam. Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat
Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam
hadis yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā,
orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.”
(HR. Muslim). Dengan
demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi,
terkena dosanya juga.
Guna menghindari riba, apabila
mengadakan jual-beli barang sejenis seperti
emas dengan emas atau perak dengan
perak ditetapkan syarat:
a).
sama timbangan ukurannya; atau
b). dilakukan serah terima saat itu
juga,
c).
secara tunai
.
Apabila tidak sama jenisnya, seperti
emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan
diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan
perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli
sebagaimana barang-barang yang lain
2).
Macam - Macam Ribā
a). Ribā Faḍli
adalah pertukaran barang sejenis yang tidak
sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar
dengan emas 22
karat namun seberat 11 gram.
Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b). Ribā Qorḍi
adalah pinjam-meminjam dengan syarat harus
memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B
uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar
Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c). Ribā Yādi
adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama
timbangannya,
namun penjual dan pembeli berpisah
sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di
dalam tanah.
d). Ribā Nasi’ah
adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang
beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil
di
pohonnya, kemudian diserahkan
setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim
kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.
2.
Utang-piutang
a.
Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan
harta dan benda kepada seseorang
dengan catatan akan dikembalikan
pada waktu kemudian. Tentu saja dengan
tidak mengubah keadaannya. Misalnya
utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi
utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
b.
Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1). yang berpiutang dan yang
berutang
2). ada harta atau barang
Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya
utangkan ini kepadamu.” Yang berutang
menjawab, “Ya, saya utang dulu,
beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya
lunasi.”
3.
Sewa-menyewa
a.
Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqhIslam disebut
ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang
diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat
tinggal, atau hewan. Dasar hukum ijārah dalamfirman AllahSwt.:
b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1) . Yang menyewakan dan yang
menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2). Sewa-menyewa dilangsungkan atas
kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3). Barang tersebut menjadi hak
sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4). Ditentukan barangnya serta
keadaan dan sifat-sifatnya.
5). Manfaat yang akan diambil dari
barang tersebut harus diketahui secara
jelas oleh kedua belah pihak.
Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah
rumah. Si penyewa harus menerangkan
secara jelas kepada pihak yang
menyewakan, apakah rumah tersebut
mau ditempati atau dijadikan gudang.
Dengan demikian, si pemilik rumah
akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah
antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai
gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan
dipergunakan untuk apa
saja.
6). Berapa lama memanfaatkan barang
tersebut harus disebutkan dengan
jelas.
7). Harga sewa dan cara
pem-bayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak
tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya
hal-hal berikut.
1). Jenis pekerjaan dan jam
kerjanya.
2). Berapa lama masa kerja.
3). Berapa gaji dan bagaimana sistem
pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah borongan?
4). Tunjangan-tunjangan seperti
transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada
C.
Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan)
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan
antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah,
syirkahadalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat
untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan
a.
Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis
besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1). Dua belah pihak yang berakad
(‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan
(ahliyah) melakukan taṡarruf
(pengelolaan harta).
2). Objek akad yang disebut juga
ma’qud ‘alaihi
mencakup pekerjaan atau modal.
Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3). Akad atau yang disebut juga
dengan istilahṡigat
. Adapun syarat sah akad harus
berupataṡarruf
yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b.
Macam-Macam Syirkah
Syirkahdibagi menjadi beberapa
macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah.
1). Syirkah ‘Inān
syirkah ‘inān adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang masing masing memberi kontribusi kerja (amal) dan
modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’
sahabat
2). Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja
(amal), tanpa kontribusi modal (amal).
Konstribusi kerja itu dapat berupa
kerja pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu).Syirkah
ini juga disebut syirkah ‘amal
3). Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja sama
karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di
tengah masyarakat. Syirkah wujūh
adalah syirkah antara dua pihak yang
sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang
memberikan konstribusi modal (mal)
4). Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkahdi
atas. Syirkah mufāwaḍah
dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkahyang sah
berarti
boleh digabungkan menjadi satu.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh
para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inān, atau ditanggung
pemodal saja jika berupa mufāwaḍah
, atau ditanggung mitra-mitra usaha
berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh
5)
. Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di
mana pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau pengusaha
(muḍarrib).
Keuntungan usaha secara
muḍārabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, namun apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
tersebut bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.Kontrak bagi hasil disepakati di depan
sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi
hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola
mendapatkan 60% dari keuntungan,
pemilik modal mendapat 40% dari
keuntungan.Muḍārabah
sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah dan muḍārabah muqayyadah
.
Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan
pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Muḍārabah
muqayyadah adalah kebalikan dari muḍārabah muṭlaqah
, yakni usaha yang akan dijalankan
dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah
a). Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara
pemilik kebun dan petani di mana
sang pemilik kebun menyerahkan
kepada petani agar dipelihara dan hasil
panennya nanti akan dibagi dua
menurut persentase yang ditentukan pada
waktu akad. Konsep musāqah merupakan
konsep kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis
mutualisme). Tidak jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat
perkebunannya, sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu
luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya
sistem kerja sama musāqah, setiap
pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat
b). Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ahadalah kerja sama dalam
bidang pertanian antara pemilik
lahan dan petani penggarap di mana
benih tanamannya berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama
dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih
tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ahmemang sering kali diidentikkan
dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit
perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap, sedangkan
mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah
dan mukhābarah merupakan bentuk
kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah
dikenal sejak masa Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan
lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian
persentase
tertentu dari hasil panen. Di
Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan tanah itu
sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya terdapat
dalam hadis dan ijma’
ulama
D.
Perbankan
1.
Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan
yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan
menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk
membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan,
baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus
dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan
bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut.
a. Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang
fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan
kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan
usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank Islam atau
Bank Syari’ah
Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank
yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada
bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan beberapa
cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut.
1). Muḍārabah
, yaitu kerja sama antara pemilik
modal dan pelaku usaha dengan perjanjian
bagi hasil dan sama-sama menanggung
kerugian dengan persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali tidak
mengintervensi manajemen perusahaan.
2). Musyārakah, yakni kerja sama
antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki saham.
Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan
menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3). Wadi’ah
, yakni jasa penitipan uang, barang,
deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau
barang titipan yang telah disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak
bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan
menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.
4). Qarḍul hasān
, yakni pembiayaan lunak yang
diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya
diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan
ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut
sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
5). Murābahah
, yaitu suatu istilah dalam
fiqhIslam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat
dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah
keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan
biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak
diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan
pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau
menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta
tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara
jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.
E.
Asuransi Syari‘ah
1.
Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa
Belanda, assurantieyang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan
at-Ta’min yang
berarti pertanggungan, perlindungan,
keamanan, ketenangan atau bebas
dari perasaan takut. Si penanggung
(assuradeur) disebut mu’ammin dan
tertanggung (geasrurrerde) disebut
musta’min
.
Dalam Islam, asuransi merupakan
bagian dari muāmalah. Kaitan dengan
dasar hukum asuransi menurut
fiqhIslam adalah boleh (jaiz) dengan suatu
ketentuan produk asuransi tersebut
harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat
asuransi yang berdasarkan
syari’ah dibolehkan dan asuransi
konvensional haram hukumnya.Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu
upaya seorang muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari
bahwa sesungguhnya
setiap jiwa tidak memiliki daya apa
pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan,
bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah
tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya
sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya
bersama-sama. Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual,
melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu
tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi
atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan
semangat ajaran tersebut.
2.
Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja prinsip tersebut berbeda
dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip
transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko
yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah
terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah
cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan
adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi
konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan
pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam
konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang
baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri,
dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali
sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang
tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada manfaat yang bisa
diambil kaum muslimin dengan terlibat
dalam asuransi syari’ah, di
antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan hukum Islam.
Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang
konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah prinsip
yang bersifat universal.
Untuk pengaturan asuransi di
Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah
DAFTAR PUSTAKA
http://www.slideshare.net/wasunu/prinsip-ekonomi-islam